Standar HACCP yang diterapkan di Indonesia diambil dari Codex Committe on Food Hygene yang mulai diperkenalkan Oktober 1991, kemudian diterjemahkan ke dalam Standar Nasional Indonesia (SNI 01-4852-1998), meskipun sistme ini sendiri telah dikembangkan sejak 1959 oleh Pillsbury Company bekerja sama dengan National Aeronautics and Space Agency, Natick Laboratory, dan US Air Force Space Laboratory Project Group.

Standar SNI 01-4852-1998 dikembangkan untuk menjadi panduan penerapan bagi bidang usaha di Indonesia sehingga memungkinkan untuk memasuki fasa proses sertifikasi. Bagi organisasi yang ingin menerapkan sistem HACCP, selain mengacu kepada SNI 01-4852-1998, juga dapat merujuk pada Pedoman Badan Standardisasi Nasional 1004-1999.

Penerjemahan maksud standar SNI 01-4852-1998 dan Pedoman BSN 1004-1999 seharusnya disesuaikan dengan bidang usaha yang akan menerapkan sistem tersebut. Mesipun langkah-langkah yang digambarkan tegas terdiri dari 12 langkah sebagaimana Gambar 2.1, namun sangat prematur untuk diterapkan disuatu unit usaha.

Di Indonesia, negara yang diberikan Tuhan sumber daya alam sangat melimpah, permasalahan keamanan pangan pada awalnya belum menjadi prioritas karena orang memiliki banyak pilihan makanan yang sehat dan aman. Namun ketika Indonesia mulai memperjual belikan produk makanan setelah berhasil swasembada, terjadilah interaksi dengan dunia luar. Keamanan pangan menjadi salah satu syarat perdagangan yang dimungkinkan manakala produk pangan sehat diarahkan untuk pasar ekspor. Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana keamanan makanan yang dikonsumsi bangsa Indonesia sendiri.

Sistem manajemen yang masuk ke bidang bisnis di Indonesia pada awalnya lebih banyak ditujukan untuk mengatasi masalah mutu. Beberapa negara maju bahkan memanfaatkan Indonesia Mixed Quality ini dengan membuat usaha pemilahan lalu melakukan reekspor. Di dalam grading mutu komoditas pertanian dikenal istilah Indonesia Mixed Quality, yaitu upaya mencampurkan berbagai mutu komoditas karena tidak mendapatkan perlakuan yang berbeda.

Sistem manajemen mutu masuk ke Indonesia melalui beberapa tahapan mulai dari final inspection and testing, in line process control, total quality control, hingga total quality management. Sistem manajemen mutu yang berkembang di Indonesia disertai pula dengan sistem sertifikasi, baik bersifat self declaration (pernyataan diri), second party certification (disertifikasi pembeli), dan third party certification (disertifikasi lembaga independen atau pemerintah).

Peletakan sistem HACCP ke dalam sistem manajemen mutu yang telah diterapkan di dalam suatu unit usaha tentu memerlukan sejumlah pendekatan agar dapat menjaga ritme kegiatan. Sistem HACCP diupayakan tidak mengubah sama sekali iklim dan suasana yang telah dibangun serta berjalan baik di suatu unit usaha. Ilustrasi dibawah ini menggambarkan kemungkinan interaksi penerapan HACCP didalam suatu usaha yang telah memiliki sistem.

Ilustrasi I. Pemantauan Titik Kendali Kritis PT Buana Nut Packing, sebuah perusahaan yang mengemas kacang tanah dalam berbagai rasa, telah mengetahui dan menetapkan salah satu titik kendali kritisnya pada tahap seleksi kacang mentah. perusahaan ini memasang alat kendali untuk membuang kacang yang terkontaminasi kapang Aspergillus flavus berupa sensor ultraviolet. Beberapa tahun sebelum menerapkan HACCP, perusahaan ini telah menerapkan sistem manajemen mutu ISO 9002, sehingga telah memiliki prosedur mengenai inspeksi bahan masuk. prosedur ini sangat efektif untuk mencegah masuknya kacang bermutu di bawah standar kedalam lini produksi. pada saat penerapan ISO 9002, proses seleksi hanya dilakukan dengan kekuatan organoleptik para grader bahan baku. Penerapan HACCP tentu saja menjadi sangat merepotkan apabila harus menyusun prosedur baru untuk penanganan bahan baku kacang, padahal sama sekali tidak bertentangan dengan prisnsip pengendalian bahan masuk didalam ISO 9002. Tim HACCP hendaknya dapat melihat prosedur yang telah ada dan telah terbukti efektif sehingga dapat mengintegrasikan prinsip HACCP kedalamnya.

Langkah paling mudah yang dilakukan oleh sejumlah praktisi usaha adalah dengan melepaskan sistem HACCP sebagai suatu sistem mandiri, dikelola oleh tim mandiri yang dibentuk belakangan. Permasalahan ini hanya akan efektif pada beberapa saat, setelah terjadi interaksi maka sistem HACPP harus sudah menjadi kesatuan napas dengan sistem sehari-hari.

Hal paling mendasar yang dilakukan para praktisi adalah mencari kesamaan dari masing-masing sistem, dilihat dari filosofi persyaratan standarnya. Pengertian titik kritis harus diinterpretasikan bukan semata untuk keamanan pangan, tetapi juga bagi penurunan mutu secara keseluruhan (dalam ISO seri 9000) atau keselamatan kerja (dalam SMK3) atau pencemaran berat lingkungan (dalam ISO seri 14000) atau kehalalan produk (dalam sistem halal).

Tag : Sistem Manajemen HACCP

Penulis : Dr. Ir. Hermawan Thaheer